Seluruh rasa
antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar cerita Laras, hilang
begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung hatiku, tercabut
secara paksa.
Di sebuah kamar kost-an, aku duduk di atas tempat tidur. Tangan kananku
memegang sebatang cokelat. Di tangan kiriku, aku memainkan sebuah permainan, di
handphone kesayanganku.
“Tari, perasaan dari tadi pagi lo makan cokelat terus. Apa enggak takut
gemuk?” tanya Wery, sambil berbaring di tempat tidur yang terletak di samping
kanan tempat tidurku.
“Iya, gue heran deh sama Lestari. Padahal kalau makan cokelat enggak
tanggung-tanggung. Sekali makan bisa habis dua batang. Tapi kenapa badan lo
enggak gemuk sih?” Hanny yang dari tadi sibuk ber-SMS-an dengan Deni, pacarnya,
ikut melibatkan diri dalam obrolan kami.
“Jangan-jangan lo muntahin lagi, ya?” timpa Wery, sebelum sempat aku
menjawab pertanyaan dari mereka.
“Wah, jangan-jangan iya, nih. Lo bulemia ya?”
“Bulemia? Yang benar tuh, bulimia. Bukan bulemia. Makanya kalau punya kamus
kedokteran itu dibuka-buka. Jangan disimpan aja,” ledek Wery, sambil tertawa
terbahak-bahak.
Kami pun kemudian tertawa.
Begitulah suasana di kost-an bila malam tiba. Selalu ramai dengan canda
tawa. Kata-kata yang Hanny dan Wery lontarkan, terkadang memang dalam. Tapi
memang begitulah mereka. Ceplas-ceplos.
Untuk menanggapi mereka yang seperti itu, aku harus menganggap bahwa
kata-kata yang mereka lontarkan itu tidak serius. Mereka hanya bercanda. Kalau
aku mengganggap serius kata-kata mereka. Dijamin, aku enggak akan betah tinggal
di kost-an.
“Eh, tapi benar enggak sih, kalau lo bulimia?” Henny masih penasaran.
“Ya, enggak lah. Ngapain juga gue harus muntahin makanan yang sudah gue
makan. Kalau gue ngelakuin itu, bisa-bisa, dinding perut, usus, ginjal, gigi,
semuanya rusak. Dan yang lebih parah, gue bisa meninggal karena kekurangan
gizi. Mending gue meninggal karena dicium Fikri, dari pada gue meninggal karena
kekurangan gizi,” aku yang sejak tadi bergeming, akhirnya menanggapi kata-kata
mereka.
“Cieee... yang tadi pagi baru jadian. Omongannya enggak nahan.”
Tok... tok... tok....
Tiba-tiba pintu rumah di ketuk dari luar.
Wery, yang bertugas piket hari ini, bangkit untuk membukakan pintu.
“Tari, gue mau curhat!” Laras, saudara kembarku, sudah berdiri di depan
pintu kamar, padahal baru lima belas detik Wery membuka pintu. Laras kemudian
langsung berlari ke arahku.
“Lo ke sini sama siapa? Sudah malam begini,” tanyaku, heran.
“Sendiri. Gue sengaja ke sini, mau curhat sama elo. Lagian, besok gue enggak
ada jadwal kuliah. Jadi gue bisa nginep di sini.”
“Eh... enggak bisa, enggak bisa. Bertiga aja sudah sempit. Apalagi ditambah
satu gajah.” Hanny protes.
“Teman lo keterlaluan banget, sih. Masa gue dibilang gajah. Lagian, kamar
ini kan masih luas banget!” Laras marah.
“Hanny memang begitu. Udah, enggak usah di masukin ke hati. Cuekin aja. Kita
pindah ke kamar sebelah aja, yuk.”
Aku dan Laras kemudian bergeras meninggalkan kamar yang ditempati Hanny dan
Wary. Kami menuju kamar yang lain, yang terletak tidak jauh dari kamar mereka.
Di rumah yang kami kontrak ini, hanya mempunyai dua kamar. Satu kamar untuk
tidur. Satu kamar lagi untuk lemari pakaian dan rak buku. Kami sengaja
mengaturnya seperti itu. Karena yang tinggal di rumah ini bukan hanya dua
orang. Melainkan tiga orang. Selain itu, agar kebersamaan dan kekeluargaan di
antara kami lebih terasa.
Sesampainya di kamar, laras langsung merebahkan diri ke karpet, yang berada
tepat di tengah-tengah deretan lemari. Aku yang memang sudah lelah, ikut
berbaring di sampingnya.
“Tari, lo tahu enggak. Tadi pagi gue ketemu cowok, cakep banget. Rambutnya
ikal, matanya cokelat, hidungnya mancung, senyumnya manis, terus di pipi
kanannya ada tahi lalat. Pokoknya sempurna banget, deh. Gue suka sama dia.”
“Ketemu di mana? Namanya siapa?” tanyaku, antusias. Perasaan lelah itu
hilang seketika, tergantikan olah semangat yang baru. Karena baru kali ini
Laras menceritakan tentang perasaannya pada seorang pria. Baru kali ini dia
jatuh cinta. Padahal usianya sudah hampir sembilan belas tahun.
“Gue ketemu dia waktu di toko buku. Namanya Fikri.”
“Siapa?!” tanyaku, tak percaya.
“Fikri. Fikri Adi Dinata. Kalau enggak salah, dia juga kuliah di kampus lo,
di jurusan Kesehatan Masyarakat. Lo kenal?! Ih... salamin ya.”
Seluruh rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar cerita
Laras, hilang begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung hatiku,
tercabut secara paksa. Meskipun begitu, aku tidak ingin mengecewakan Laras. Aku
tetap mendengarkan cerita tentang pertemuannya dengan Fikri. Tak tega rasanya
membuatnya kecewa. Ia begitu bersemangat, begitu bahagia.
Aku benar-benar bingung sekarang. Aku harus bagaimana?! Laras ternyata
mencintai Fikri, pacarku sendiri. Ini bukan salahnya, karena dia tidak pernah
mengetahui bahwa aku dan Fikri, sebenarnya pacaran. Ini adalah kesalahanku
sepenuhnya, karena aku tidak pernah memberi tahu Laras. Tapi aku tidak tega
menghancurkan perasaannya. Cinta pertamanya!
***
“Fikri, hari ini kamu masih ada jam kuliah enggak?”
“Enggak ada. Memang ada apa?”
“Aku ingin ke pantai. Kamu mau menemaniku?”
“Untuk kamu, apa sih yang enggak?”
“Ya sudah. Berangkat, yuk.”
“Oke.”
RX King milik Fikri melaju dengan kencang. Membelah jalanan Kota Baja yang
penuh debu.
Semilir angin pantai menerpa wajah tirusku, yang terduduk bagai di hamparan
lautan es kim. Rambut ikal bergelombang menari mengikuti arah angin berhembus.
Lenganku memeluk lutut. Pandanganku lurus ke garis horizontal.
Fikri duduk di samping kiriku. Kedua kakinya diluruskan. Tangannya meremas
butir-butir pasir yang ada di samping kanan dan kirinya. Selama beberapa saat
kami terdiam. Hanya suara debur ombak yang terdengar.
“Tari, sebenarnya apa yang ingin kamu katakan?” tanya Fikri, tiba-tiba. Ia
seakan merasakan ada sesuatu yang kusembunyikan.
Aku bangkit, kemudian berseru, “Fikri, aku ingin bermain dengan ombak.” Aku
mencoba mengalihkan pembicaraan.
Fikri kemudian menggenggam dengan lembut tanganku. Aku menatapnya. Mataku
dan matanya saling beradu. Ada kepedihan di hatiku.
Aku melepaskan genggaman Fikri. Dengan gontai aku melangkah, mendekati riak
ombak yang menjilati hamparan es krim itu. Fikri menyejajarkan langkahnya
dengan langkahku.
Aku hentikan langkahku, saat ombak yang menerjang kakiku semakin kuat. Fikri
masih berada di sampingku.
“Sayang, kamu kenapa? Pasti ada sesuatu hal yang ingin kamu katakan padaku.”
“Fikri, kita adu lari, yuk. Sampai tembok pembatas itu ya,” untuk kedua
kalinya aku mengalihkan pembicaraan.
“Oke. Tapi kalau kamu kalah, kamu harus mengatakan yang sejujurnya. Apa yang
sebenarnya kamu sembunyikan.”
Setelah aku merasa letih, aku kemudian berhenti dan berbalik. Ternyata aku
sudah jauh meninggalkan Fikri, yang memang tidak ikut berlari. Masih dengan
nafas tersengal-sengal, aku kembali berlari ke arah Fikri. Aku merasakan beban
di hatiku kini sedikit berkurang.
“Kamu curang,” seruku, masih dengan tersengal-sengal.
“Kamu larinya semangat banget, sih. Jadi aku enggak bisa menyusul deh,”
jawab Fikri, sekenanya.
Aku kemudian terdiam. Pandanganku kembali tertuju ke garis horizontal. Namun
kini, sebuah senyuman mengembang dari bibir tipisku. Perasaanku lebih tenang.
“Sayang, sebenarnya ada apa sih?”.
“Aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu. Hanya bersamamu, hari ini,” jawabku.
Pandanganku masih tertuju ke garis horizontal.
Fikri kemudian tersenyum, sambil berkata, “Aku pikir kamu mau cerita
sesuatu. Karena kamu selalu mengajak aku ke pantai, kalau mau cerita sesuatu.”
“Masa, sih?”
“Bukannya iya?”
Kami pun bercanda dan tertawa. Menghabiskan hari ini bersama. Berdua, di
tepi pantai. Kami bercanda dan tertawa, hingga senja berada di ufuk barat.
***
Kala senja berada di ufuk Barat, tepat berada di tengah garis horizontal,
aku mengatakan, “Fikri, aku sudah memutuskan bahwa aku enggak bisa melanjutkan
hubungan kita. Aku enggak bisa pacaran sama kamu. Ada seseorang yang lebih
pantas untukmu.”
“Maksud kamu apa?!”
Aku kemudian menarik nafas, dalam dan panjang. Menghembuskannya perlahan.
Aku berusaha untuk tersenyum, meskipun hatiku terluka. Sama seperti yang Fikri
rasakan saat ini.
“Aku sudah terlalu sering menyakitimu. Aku tidak berhak mendapatkan cintamu.
Kamu berhak mendapatkan wanita lain yang lebih baik dariku. Dia adalah Laras.”
“Laras?! Saudara kembarmu? Lestari, cinta itu bukan bola, yang bisa kamu
oper sesuka hatimu. Sekalipun, kepada saudara kembarmu!” Fikri marah besar.
Hatiku semakin terluka. Aku menyadari, bahwa cinta memang bukanlah sebuah
bola. Tapi demi kebahagiaan Laras, aku berharap, cintamu padaku seperti halnya
sebuah bola. Sehingga cinta itu bisa dioper kepada Laras. Dan membuatnya
bahagia.